BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke ini, terdiri
dari bermacam suku bangsa, budaya, ras dan agama. Disebut juga masyarakat
majemuk atau multikultur. Kondisi masyarakat seperti ini jika berjalan serasi
dan harmonis akan menciptakan integrasi sosial. Jika tidak, terjadilah
disintegrasi sosial atau konflik sosial. Pengaruh kemajemukan masyarakat yang
perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan konflik sosial adalah munculnya
sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan dan stereotip etnik.
Indonesia
dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun budaya
serta agama dan kepercayaannya. Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan
ekonomi, pandangan politik serta kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya
memiliki arti dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian,
secara bersamaan kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis dalam
kerangka penggalian, pengelo1aan, serta pengembangan potensi bagi bangsa
Indonesia untuk menapaki jenjang masa depannya.
Kemajemukan
masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan
berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak
dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif
(negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya
dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Defenisi Kemajemukan Masyarakat indonesia?
2. Jelaskan
Macam – macam Kemajemukan masyarakat ?
3. Apa
defenisi Proses Interaksi dan konsolidasi ?
C.
Tujuan
Tujuan
pembuatan Makalah ini adalah Untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata kuliah
Pengantar Sosiologi serta untuk Menambah wawasan dan ilmu kami tentang pengaruh
kemajemukan masyarakat Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama
kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural
Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri
dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan
sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur
masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih
dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang
menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku
bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis
tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta
diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu
lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan
agama.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan
Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan
Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal yang terdiri
atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Ciri-ciri masyarakat majemuk menurut Vandenberg :
a. Segmentasi ke dalam kelompok-kelompok.
a. Segmentasi ke dalam kelompok-kelompok.
b. Kurang mengembangkan konsensus.
c. Sering mengalami konflik.
d. Integrasi sosial atas paksaan.
e. dominasi suatu kelompok atas kelompok lain
2.2 Pengaruh Kemajemukan Masyarakat
Indonesia
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena
adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu
tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut
etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul
konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi
berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya
integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang
rasa dan toleransi.
b. Stereotip Etnik
Interaksi
sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu
pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain
(Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu
terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan
adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan
dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok
etnis kepada ciri khusus,seluruhanggotaetnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik
Ciri
utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah
kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik,
tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas
sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya
mereka dalam satu unit politik tertentu. Mungkin pendekatan yang relevan untuk
melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau
agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang
terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem
nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan.
Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu
konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak
akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut
memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik
sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya
tersembunyi menjadi terbuka.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Di Kalimantan
Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap
bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi. Demikian pula dengan
orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di kawasan
Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor ekonomi
ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar
beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta
jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru
memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar
kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk
dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara, sementara
kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar kelompok
masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin tajam. Di
samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik betul-betul
lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan
kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama
sistem politik negara Orde Baru.
Memang
selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun
terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun
pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena
akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi
ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru
mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten
menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan
eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu
menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam
masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka,
kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara fisik dalam
suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya
adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam
masyarakat yang pluralis.
2.3
Kemajemukan Ras
Kata
ras berasal dari bahasa prancis dan italia, yaitu razza.Pertama kali istilah
ini diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi prancis untuk mengemukakan
gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna
kulit dan bentuk wajah.Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia
berdasarkan karakteristik fisik atau biologis.
Berdasarkan
karakteristik biologis, pada umumnya manusia dikelompokkan dalam beragai
ras.Manusia dibedakan menurut bentuk wajah, rambut, tinggi badan, warna kulit,
mata, hidung, dan karakteristik fisik lainnya.Jadi, ras adalah perbedaaan
antara manusia menurut atau berdasarkan ciri fisik biologis.Ciri utama pembeda
antara ras yaitu ciri alamiah rambut pada badan, warna alami rambut, kulit, dan
iris mata, bentuk lipatan penutup mata, bentuk hidung serta bibir, bentuk
kepala dan muka, ukuran tinggi badan.
Ciri-ciri
yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatic.Secara biologis,
konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau
sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetic memiliki
kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan
wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili factor tampilan luar.
Semua kelompok ras kurang
lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting. Meskipun terdapat beberapa pengecualian,
perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak
fungsional.Perbedaan fisik pada makhuk manusia sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan perbedaan fisik yang terdapat pada banyak makhluk hidup
lainnya, misalnya anjing dan kuda.
Kebayakan ilmuwan dewasa
ini sependapat bahwa semua kelompok ras termasuk dalam satu rumpun yang
merupakan hasil dari suatu proses evolusi, dan semua kelompok ras kurang lebih
sama kadar kemiripannya dengan hewan lainnya.
Di dunia ini
dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras
atas tiga kelompok, yaitu :
·
Kaukasoid
·
Negroid
·
Mongoloid
Adapun ras
atau subras yang mendiami kepulauan Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Papua melanesoid yang mendiami wilayah Papua, Aru, dan
Kai.
b.
Weddoid yang mendiami daerah Sumatra bagian barat
laut.
c.
Malayan Mongoloid yang meliputi Proto Melayu.
d.
Negroid yang mendiami pegunungan Maoke Papua.
e.
Asiatic Mongoloid yang terdiri atas keturunan Tionghoa
dan jepang yang tinggal di Indonesia.
f.
Kaukasoid terdiri atas keturunan Belanda, Inggris,
keturunan Arab, India, Pakistan yang tinggal di Indonesia.
2.4 Kemajemukan
Etnis atau Suku Bangsa
Koentjaraningrat (1990) menyatakan
suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup yang memiliki sistem
interaksi yang ada karena kontinunitas dan rasa identitas yang mempersatukan
semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
Menurut Narral mendefinisikan etnis
adalah sejumlah orang atau penduduk yang memiliki ciri-ciri : secara biologis
mampu berkembang biak dan bertahan ,mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan
sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri,
menentukan u kelompoknya yang diterima oleh dan dpat dibedakan dari
kelompok lain.
Tampak bahwa etnis berbeda dari
ras.Jika pengertian ras lebih didasarkan pada persamaan ciri-ciri fisik yang
dimiliki oleh seseorang individu, maka pengertian etnis didasarkan kepada
adanya persamaan kebudayaan dalam kelompok masyarakat tersebut.
Secara etnik, bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk dengan jumlah etnik yang besar.Mengenai jumlah suku bangsa
yang ada di Indonesia telah dikemukakan oleh para ahli.Esser, Berg dan Sutan
Takdir Alisyahbana memperkirakan ada 200-250 suku bangsa.MA, Jaspan
mengemukakan ada 366 suku bangsa.Koentjaraningrat memperkirakan ada 195 suku
bangsa.Hildred Geertz menyatakan lebih dari 300 suku bangsa dengan identitas
budayanya sendiri.William G. Skinner memperkirakan ada 35 suku bangsa dalam
arti lingkungan hukum adat.
Di Indonesia, istilah kelompok etnis
dapat disamaartikan dengan suku bangsa, di samping ada pula yang menyebutkan
dengan golongan etnis. Misal : golongan etnis Tionghoa.
Suku yang
berkembang di Indonesia ada yang memiliki tingkat peradaban yang telah maju dan
mampu berbaur dengan suku bangsa lain. Di samping itu juga masih dijumpai suku
bangsa atau masyarakat terasing.Masyarkat terasing merupakan suku bangsa yang
terisolasi dan masih hidup dari berburu, meramu atau berladang padi,
umbi-umbian dengan system lading berpindah.Masyarakat ini terhambat dari
perubahan dan kemajuan karena isolasi geografi atau upaya yang disengaja untuk
menolak bentuk perubahan kebudayaan.
2.5 Kemajemukan Agama
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat religius (agamis). Kesetiaan dan kepatuhan nilai hidup religius atau
keagamaan menjadi jiwa atau semangat dasar sumber inspirasi, motivasi, dan
tonggak pedoman arah bagi manusia dalam menentukan dan mengambil sikap yang
tepat dan benar terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang ada. Agama-agama
di Indonesia, melalui doktrin-doktrin imannya mengajarkan bahwa dalam hubungan
dengan sesama, manusia senantiasa berusaha menciptakan sebuah relasi sosial
yang harmonis dan human. Manusia menjadi sesama bagi orang lain, yang ditunjukan
lewat sikap saling menghormati dan menghargai, saling membantu dan melayani
serta saling mencintai.
Dalam hubungannya dengan lingkungan
sekitar, setiap agama mengajarkan agar manusia senantiasa berusaha mengolah,
dan memelihara kelestariannya. Kesalehan hidup religius dan kesetiaan pada
komitmen moral menjadi kompas kehidupan bagi manusia Indonesia di tengah amukan
dan arus badai masyarakat global. Penghayatan hidup religius yang baik dan
benar serta kesetiaan merupakan komitmen moral menjadikan manusia semakin
manusiawi dan mampu menilai secara kritis setiap perkembangan dan kemajuan yang
ada, serta dapat menentukan sikap yang tepat dan benar dalam situasi tersebut.
Dengan demikian tidak dapat tergoda dan tenggelam dalam superioritas dangkal
dan mental mencari gampang. Fakta bahwa manusia sering mengalami keterpecahan
dan teraleinasi dari diri dan dunianya, merupakan indikasi bahwa orang belum
menghayati hidupnya secara baik dan benar sesuai dengan ajaran imannya. Ia
belum sanggup mengaktualisasikan visi dan misi dasar keagamaannya.
Kebinekaan agama (Islam, Protestan,
Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu dan Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa.) merupakan kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia. Setiap agama itu
mempunyai ajaran dan cara mengungkapkan diri yang berbeda dalam kehidupan
konkret, namun semuanya mempunyai satu tujuan, yakni mau membimbing dan
menuntun manusia kepada keselamatan. Setiap agama mengajarkan dan menunjukkan
kepada manusia jalan keselamatan, lewat ajarannya tentang kebenaran, keadilan
dan kasih. Setiap agama melalui doktrin imannya, tidak pernah membenarkan dan
mengamini setiap perbuatan dan tindakan manusia yang dapat merugikan dan
menghancurkan kehidupan sesama dan lingkungannya. Ia mengajarkan bahwa dalam
hubungan dengan sesama, manusia kiranya senantiasa berusaha menciptakan sebuah
relasi sosial yang harmonis dan human. Manusia semestinya selalu menjadi sesama
orang lain. Hal ini dapat ditunjukkan lewat sikap saling menghormati dan
menghargai, saling membantu dan melayani serta saling mencintai. Dalam hubungan
dengan lingkungan sekitar, setiap agama mengajarkan agar manusia senantiasa
berusaha mengolah, menjaga, dan memelihara kelestariannya, bukan
mengeksploitasi dan merusakannya.
Kesetiaan dan kepatuhan menghayati
nilai-nilai hidup religius atau keagamaan menjadi jiwa atau semangat dasar,
sumber inspirasi, motivasi dan tonggak pedoman arah bagi manusia Indonesia,
dalam menentukan dan mengambil sikap yang tepat dan benar terhadap setiap
perkembangan dan kemajuan yang ada. Dengan demikian manusia Indonesia tidak
terjerumus dan tergiur untuk menikmati tawaran-tawaran kenikmatan dunia yang
dangkal, seperti kekuasaan, pangkat, popularitas diri, dan harta kekayaan.
Sebaliknya, dengan menghayati nilai-nilai religius atau keagamaan secara baik
dan benar, orang justru semakin terbuka dan kritis untuk mengevaluasi dan
melihat nilai-nilai luhur yang ada dibalik setiap perkembangan dan kemajuan
yang, Juga orang akan semakin peka dan tanggap memperhatikan kehidupan sesama
dan kelestarian lingkungan sekitarnya. Dengan demikian manusia tidak kehilangan
identitas dan jati dirinya sebagai homo religious dan man for other’s
di tengah arus kemajuan tingkat peradabannya sendiri.
2.6 Konsolidasi
Konsolidasi
adalah suatu proses penguatan atau peneguhan
keanggotaan Individu atau beberapa kelompok yang berbeda
dalam suatu kelompok sosial, melalui tumpang tindih keanggotaan. Struktur
sosial yang terkonsolidasi berfungsi untuk menghambat proses intergrasi sosial
dalam masyarakat majemuk karena terjadinya penguatan indetitas yang dalam batas
– batas tertentu akn mempertajam prasangka antara ras, suku bangsa, agama yang
berbeda.
Penajaman prasangka semakin merata
apabila ras, suku bangsa, agama yang berbeda terjadi pula perbedaan peluang
untuk memperoleh kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan hidup melalui proses
ekonomi dan memperoleh jabatan atau kekuasaan dalam politik. Sehingga timbul
kesenjangan ekonomi dan sosial.
2.7 Interseksi
Interseksi merupakan persilangan
atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok dari berbagai seksi,baik berupa suku,
agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat
majemuk.
Struktur sosial yang
terinterseksiberfungsi positif terhadap proses integrasi sosial dalam
masyarakat majemuk karena memungkinkan orang yang berbeda-beda ras, suku
bangsa, agama, maupun dapat saling bergaul dan berinteraksi melalui kelompok –
kelompok sosial yang ada. Keanggotaan warga masyarakat dalam kelompok –
kelompok sosial yang saling menyilang akan menimbulkan terjadinya loyalitas
yang juga saling menyilang. Akibat interseksi kemajemukan masyrakat antara lain
:
1. Meningkatkan solidaritas antar
anggota suatu kelompok sosial
2. Menimbulkan konflik jika perbedaan –
perbedan tersebut semakin tajam
3. Persilangan suatu anggota kelompok sosial
dari berbagai seksi. Interaksi antara satu seksi dengan seksi lainnya dilakukan
melalui hubungan ekonomi, sosial dan politik.
a) Hubungan ekonomi
-
Melalui
Perdagangan
-
Melalui
perindustrian
b) Sosial
-
Melalui
perkawinan
-
Melalui
pendidikan
c) Politik
-
Hubungan
diplomatik atau hubungan negara
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah
masyarakat Indonesia majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam
bukunya Netherlands India : A Study of Plural Economy (1967), untuk
menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman
ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik.
Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang
unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor
yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Keadaan
geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan.
b. Letak Indonesia diantara Samudra
Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia.
c.
Iklim
yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Pengaruh
kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan agama, ras dan suku bangsa dapat
dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat
keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud
integrasi bangsa. Pengaruh negatif, munculnya sikap primordial (primordialisme)
yang berlebihan yang mewarnai interaksi sosial sehingga muncul disintegrasi
atau konflik sosial.
3.2
Saran
Di tengah
arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom
yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus
berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam
satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini
berbeda-beda dalam satu kemajemukan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Maka,
Indonesia Baru yang kita ciptakan itu, hendaknya ditegakkan dengan menggeser
perbadaan yang ada dengan mengedepankan keBhinnekaan sebagai strategi integrasi
nasional. Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang
sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
Ridwan dan Elly Malihah. (2007) . Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan
Teknologi. Bandung : Yasindo Multi Aspek
Hermawan,
Ruswandi dan Kanda Rukandi. (2007). Perspektif Sosial Budaya. Bandung: UPI
PRESS
Hermawan,
Ruswandi dkk. (2006) . perkembangan masyarakat dan Budaya. Bandung : UPI PRESS
Kuswanto dan Bambang
Siswanto. (2003). Sosiologi. Solo: Tiga Serangkai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar