BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Harus diakui bahwa belum terdapat kesepahaman bulat tentang kriteria efektivitas kepemimpinan seseorang. Akan tetapi nampaknya telah diakui secara luas bahwa kemampuan mengambil keputusan merupakan salah satu kriteria utamanya. Bahkan kemampuan mengambil keputusan dewasa ini pada umunya diterima sebagai inti kepemimpinan. Memang penelitian dari banyak ilmuwan dan pengalaman dari banyak praktisi menunjukan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang pada akhirnya dinilia dengan menggunakan kemampuan mengambil keputusan sebagai kriteria utamanya. Dalam hubungan ini perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan mengambil keputusan tidak terutama diukur dengan ukuran kuantitatif, dalam arti jumlah keputusan yang diambil. Yang digunakan adalah jumlah keputusan yang diambil yang bersifat praktis, realistik dan dapat dilaksanakan serta mempelancar usaha pencapaian tujuan organisasi.
Jika diterima pendapat yang mengatakan bahwa peranan para pejabat pimpinan dalam suatu organisasi sangat sentral dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, berarti diterima pula asumsi dasar yang mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan dari para pimpinan yang bersangkutan merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan organisasi tersebut. Artinya, pendekatan yang lumrah digunakan menilai kemampuan seseorang mengambil keputusan yang efektif ialah pendakatan yang memenuhi lima persyaratan, yaitu :
a. Kualitatif, dalam arti mutu keputusan yang diambil,
b. Ketepatan model pengambilan keputusan yang dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi,
c. Ketetapan teknik pengambilan keputusan yang digunakan sesuai dengan sifat permasalahan yang ingin dipecahkan atau sasaran yang ingin dicapai,
d. Penerimaan para pelaksana keputusan tersebut sedemikian rupa sehingga keputusan yang diambil terlaksana menurut jiwa dan semngat keputusan tersebut tanpa diwarnai oleh persepsi dan interpretasi yang subyektif dari para pelaksana,
e. Terbukti mendekatkan organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan untuk di capai.
Tentunya jika pendekatan di atas, yang pada dasarnya bersifat kualitatif dan psikologis itu, sekaligus dibarengi oleh jumlah keputusan yang diambil secara tepat, hal tersebut akan lebih meningkatkan lagi citra pemimpin yang bersangkutan sebagai seseorang yang efektif dalam menjalankan fungsi – fungsi kepemimpinanya. Berbagai kriteria itu berkisar pada kemampuan seorang pemimpin menajalankan berbagai fungsi – fungsi kepemimpinan. Yang secara khusus disoroti dalam karya tulis ini adalah fungsi – fungsi yang menurut penulis bersifat hakiki. Lima fungsi – fungsi kepemimpinan yang akan dibahas secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan,
2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisai,
3. Pimpinan selaku komunikator yang efektif,
4. Mediator yang andal, khususnya dalam hubungan ke dalam terutama dalam menangani situasi konflik,
5. Pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif, dan netral.
Pada pembahasan kelima fungsi – fungsi kepemimpinan diatas, tidak berarti bahwa tidak ada lagi fungsi – fungsi kepemimpinan yang lainya. Pemabatasan dilakukan semata-mata karena fungsi – fungsi tersebutlah yang berkaitan erat dengan tema pokok.
1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang yang diuraikan di atas menimbulkan sebuah Rumusan Permasalahan yaitu :
1.2.1 Bagaimana Pimpinan Sebagai Penentu Arah ?
1.2.2 Seperti Apakah Pimpinan Sebagai Wakil dan Juru Bicara Dalam Organisasi ?
1.2.3 Bagaimana Menjadi Pimpinan Sebagai Komunikator yang Efektif ?
1.2.4 Apa yang Dimaksud Dengan Pemimpin Sebagai Mediator ?
1.2.5 Dan Bagaimana Peranan Selaku Integrator ?
1.3 Tujuan Dan Mamfaat Penulisan
- Tujuan
Untuk Memenuhi Tugas yang diberikan oleh dosen pendamping dan memecahkan permasalahan yang ada pada makalah tersebut.
- Mamfaat
Guna untuk menambah wawasan baik itu secara pribadi atau disalurkan kepada pembaca.
1.4 Metode
Metode dalam pembuatan Makalah ini menggunakan Metode Tinjauan dengan mengumpulkan data dari referensi yang terpercaya dan dapat dipertanggungJawabkan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.2.1 PIMPINAN SEBAGAI PENENTU ARAH
Telah umum diketahui bahwa setiap organisasi, baik dibidang kenegaraan, keniagaan, politik, sosial dan organisasi kemasyarakatan lainya, diciptakan atau dibentuk sebagai wahana untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, baik yang sifatnya jangka panjang, jangka sedang maupun jangka pendek yang tidak mungkin tercapai apabila diusahakan dicapai oleh para anggotanya yang bertindak sendiri-sendiri.
Kenyataan yang selalu dihadapi oleh setiap organisasi ialah bahwa sarana dan prasarana yang tersedia atau mungkin tersedia bagi organisasi selalu terbatas sifatnya, sedangkan tujuan yang ingin dicapai, terutama yang bersifat jangka panjang, per defenisi adalah sesuatu yang sifatnya tidak terbatas. Pada giliaranya situasi kelangkaan yang selalu dihadapi oleh organisasi menuntut agar seluruh komponen dan jajaran suatu organisasi bekerja sedemikian rupa sehingga dalam penyelanggaraan berbagai kegiatan tidak terjadi pemborosan karena bila terjadi, apa lagi pada skala besar dan terus – menerus, jalanya roda organisasi tidak akan mulus. Suatu hal yang sukar dipertanggung jawabkan, baik secara administratif maupun secara moral, apalagi kalau pemborosan itu merupakan hal yang disengaja.
Dengan kata lain, arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju tujuanya harus sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemamfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia itu. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh organisasi yang bersangkutan. Perumus dan penentu strategi dan taktik tersebut adalah pimpinan dalam organisasi tersebut.
Tergantung pada jenjang hirarki jabatan pimpinan yang diduduki oleh seseorang dalam suatu organisasi, keputusan yang diambil dalam organisasi dapat digolongkan sebagai :
a. Keputusan strategik,
b. Keputusan yang bersifat taktik,
c. Keputusan yang bersifat teknis,
d. Keputusan operasional.
Jelas bahwa semakin tinggi kedudukan kepemimpinan yang diduduki oleh seseorang dalam organisasi, nilai dan bobot strategik dari keputusan yang diambilnya semakin besar, satu keputusan strategik mempunyai beberapa ciri pokok, seperti :
a. Jangka waktunya jauh kedepan,
b. Dampaknya terhadap kehidupan organisasional kuat,
c. Cakupanya bersifat menyeluruh karena menyentuh seluruh segi dan tingkat organisasi.
Sebaliknya, semakin rendah kedudukan seseorang dalam suatu orgnisasi, keputusan yang diambilnya pun lebih mengarah kepada hal-hal yang teknis operasoinal dengan beberapa ciri pokok seperti :
a. Jangka waktunya semakin pendek,
b. Dampakya hanya dirasakan kuat secara inkremental,
c. Cakupanya terbatas dan hanya menyangkut segi-segi atau bagian – bagian tertentu saja dari organisasi.
Perlu ditekankan bahwa pada tingkat kepemimpinan puncak sekalipun seseorang tetap mengambil keputusan operasional, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya seorang pimpinan tingkat rendah mengambil pula keputusan yang sifatnya strategik, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil.
GAMBARAN PERBANDINGAN KEPUTUSAN
K.O.
|
K.Te.
|
K.Ta.
|
K.S.
|
K.O.
|
K.O.
|
K.S.
|
Puncak
Pimpinan
Menengah
Atas
Pimpinan
Menengah
Bawah
Pimpinan
Rendah
Keterangan : K.S adalah Keputusan Strategik
K.Ta adalah Keputusan Taktis
K. Te adalah Keputusan Teknis
K.O adalah Keputusan Operasional
Terlepas dari kategorisasi keputusan yang diambil, apakah pada kategori stategik, taktis, teknis atau operasional, kesemuanya tergolong pada “ penenetuan arah” dari perjalanan yang hendak ditempuh oleh organisasi. Kategori hirarki keputusan seperti digambarkan di atas sekaligus bahwa satu keputusan strategik harus menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang hirarkinya lebih rendah. Dengan demikian keseluruhan keputusan yang diambil oleh semua tingkatan pimpinan dalam organisasi berperan sebagai penentu satu arah yang dengan jelas memberi petunjuk tentang perjalanan organisasi yang bersangkutan. Organisasi bergerak sebagai suatu kesatuan yang bulat meskipun dalam organisasi terdapat sejumlah satuan kerja, pembagian tugas yang rumit, jumlah tenaga kerja yang mungkin besar, terjadi pendelegasian wewenang atau desentralisasi dan spesialisasi yang sifatnya teknis. Dengan demikian akan terjadi interaksi antara berbagai satuan kerja dalam organisasi secara serasi karena didasarkan pada hubungan yang sifatnya symbiosis mutualis. Kiranya menjadi jelas bahwa kemampuan para pejabat pimpinan sebagai penentu arah yang hendak ditempuh di masa depan merupakan saham yang teramat penting dalam kehidupan organisasional.
1.2.2 PIMPINAN SEBAGAI WAKIL DAN JURU BICARA ORGANISASI
Tidak akan ada yang mempersoalkan kebenaran pendapat yang mengatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaranya, tidak ada organisasi yang bergerak dalam suasana terisolasi. Artinya, tidak ada organisasi yang akan mampu mencapai tujuanya tanpa memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak di luar organisasi yang bersangkutan sendiri. Seperti NATO di bidang militer bagi negara –negara yang terdapat di kawasan Atlantik Utara, Pakta Warsawa di bidang militer bagi negara – negara Eropa Timur dan Uni Sovyet, masayrakat ekonomi Eropa, Asean dan Lian sebagainya adalah beberapa contoh dari kebutuhan memelihara hubungan tersebut. Kebutuhan ini timbul sebagai kenyataan karena dalam konstelasi dunia seperti yang ada sekarang ini, memang tidak ada lagi satu negara pun di dunia yang akan mampu mencapai tujuan nasionalnya tanpa berhubungan dengan berbagai negara lainya. Pimpinan negaralah yang bertindak sebagai wakil dan juru bicara negaranya dalam berhubungan dengan negara – negara lain.
Dalam menjalankan kegiatan – kegiatan pengaturan, minsalnya, tidak ada satupun instansi pemerintah yang betul – betul “berdiri sendiri” karena selalu ada instansi lain yang terkait. Kalau orang sering berbicara tentang koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam penyelenggaraan tugas – tugas pemerintahan, hal itu adalah karena terlibatnya berbagai instansi dalam penyelenggaraan sesuatu tugas tertentu, meskipun ada satu instansi dalam penyelenggaraan sesuatu tugas tertentu, meskipun ada satu instansi yang paling bertanggung jawab dan karenanya berperan selaku koordinator. Pemeliharaan hubungan itu bukan hanya dalam menyelenggarakan tugas – tugas pengaturan, akan tetapi juga dalam memberikan pelayanan. Bahkan pemeliharaan hubungan dengan pihak yang diatur dan yang dilayani pun perlu terpelihara dengan baik.
Hal senada dapat dikatakan tentang suatu organisasi niaga atau perusahaan, baik yang menghasilkan barang maupun jasa. Banyak pihak di luar organisasi dengan siapa hubungan yang baik mutlak perlu dipelihara, apakah itu para pelanggan atau konsumen yang sering dikenal dengan istilah “clientele groups” atau pihak – pihak yang disebut “stakholders” yang terdiri dari :
a. Para pemilik modal,
b. Pemasok bahan mentah atau bahan baku,
c. Para penyalur, yaitu distributor dan agen,
d. Lembaga – lembaga keuangan, seperti bank,
e. Instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan mengatur dan memberikan pelayanan dalam bidang di mana perusahaan bergerak.
Pengertian yang tepat diharapakan bermuara pada pemahaman dan pemberian dukungan yang diperlukan, bertolak dari kepercayaan berbagai pihak tersebut terhadap kemampuan organisasi memenuhi berbagai kepentingan yang diwakili oleh pihak – pihak yang berkepentingan itu. Yang paling bertanggung jawab untuk berperan sebagai wakil dan juru bicara perusahaan dalam hubungan dengan berbagai pihak tersebut adalah pimpinan perusahaan. Akan tetapi sesungguhnya dalam kenyataan pemeliharaan hubungan tersebut tetap berlangsung terus – menerus meskipun dengan tempo dan intensitas yang berbeda – beda, tergantung pada sasaran yang ingin dicapai. Pemeran utama dalam pemeliharaan hubungan tersebut adalah pimpinan organisasi politik yang bersangkutan.
Sasaran pemeliharaan hubungan seperti telah dibahas di muka adalah agar berbagai pihak yang berkepentingan itu :
1. Mempunyai presepsi yang tepat tentang citra organisasi yang bersangkutan,
2. Memahami berbagai kebijaksanaan yang ditempuh oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuanya,
3. Mencegah timbulnya salah pengertian tentang arah yang hendak ditempuh oleh organisasi
4. Pada akhirnya memberikan dukungan kepada organisasi.
Dengan demikian persepsi yang tepat dari berbagai pihak yang dapat ditumbuhkan, seluruh kebijaksanaan yang ditempuh serta latar belakangya dapat dipaham, salah pengertian tercegah timbulnya atau bila telah sempat timbul dapat dihilangkan, dukungan yang diperlukan dapat diperoleh.
1.2.3 PIMPINAN SEBAGAI KOMUNIKATOR YANG EFEKTIF
Pemeliharaan hubungan baik keluar maupun kedalam dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Berbagai kategori keputusan yang telah diambil disampaiakan kepada para pelaksana melalui jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi. Bahkan sesungguhnya interaksi yang terjadi antara atasan dengan bawahan, antara sesama pejabat pimpinan dan antara sesama petugas pelaksana kegiatan operasional dimungkinkan terjadi dengan serasi berkat terjadinya komunikasi yang efektif. Demikian pula halnya dengan hubungan ke luar. Tidak dapat disangkal bahwa salah satu fungsi pimpinan yang bersifat hakiki adalah berkomunikasi secara efektif.
Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa timbulnya perselisihan, perbedaan paham dan bahkan konflik, terutama disebabkan oleh tidak adanya komunikasi yang efektif antara pihak –pihak yang saling berhubungan, apakah itu melalui tulisan, komunikasi yang dilakukan secara lisan, dengan mendengarkan atau dengan cara – cara lainya. Pada hal sebagian besar waktu terbangun seseorang sekitar 70% digunakan untuk berkomunikasi. Pada hakikatnya berkomunikasi berarti mengalihkan suatu pesan dari satu pihak kepada pihak atau pihak –pihak lain. Prinsip ini sangat mendasar terlepas dari maksud terjadinya komunikasi, apakah untuk penyampaian sesuatu keputusan, dalam rangka pengendalian dan pengawasan, penggerakan para bawahan, mengekspresikan perasaan seseorang atau menyampaikan informasi kepada pihak – pihak yang memerlukanya
Dari Bagan sederhana tersebut terlihat bahwa agar komunikasi yang efektif berlangsung, diperlukan kemampuan yang tinggi untuk memprakasai proses komunikasi tersebut dengan menciptakan pesan yang ingin disampaiakannya kepada orang atau piha lain. Seperti dikemukakan di atas, pesan itu dapat berbentuk perintah, intruksi, nasihat, pengarahan, atau informasi. Agar pesan yang ingin disampaikan itu diterima dalam bentuknya yang “murni” yang tidak mengalami distorsi selama berlangsungnya proses komunikasi, diperlukan kegiatan yang disebut “kodenisasi” yang berarti menerjemahkan pesan yang hendak disampaiakan dalam bentuk tertentu, misalnya kata – kata jika akan disampaiakan secara lisan, tulisan, gambar, gerakan dan lain sebagainya. Apakah bentuk “murni” sesuatu pesan dapat dipertahankan atau tidak sangat tergantung pada penggunaan “kode” atau simbol – simbol tertentu oleh sumber pesan. Untuk itu komunikator sebagai sumber pesan perlu memperhatikan empat hal yaitu :
1. Keterampilan dalam menyusun pesan sehingga jelas baginya sendiri yang pada giliranya memudahkan kegiatan kodenisasi,
2. Sikap yang tepat dalam penyampaian pesan tersebut berdasarkan nilai – nilai sosial yang berlaku, terutama nilai – nilai sosial yang dianut oleh pihak penerima pesan tersebut,
3. Pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkat pendidikan dan kedudukan penerima pesan, baik dalam organisasi maupun yang menyangkut pihak –pihak diluar organisasi,
4. Respon apa yang di harapkan dari penerima pesan.
Komunikasi yang efektif hanya mungkin berlangsung apabila digunakan saluran yang tepat. Dalam penggunaan saluran informal dan lisan, misalnya, gaya dan tingkat bahasa yang digunakan menjadi sangat penting. Bahasa yang terlalu ilmiah, apa lagi jika disertai oleh penggunaan istilah – istilah asing, sudah barang tentu akan tidak tepat jika berkomunikasi dengan para penerima pesan yang tingkat pendidikanya tidak terlalu tinggi. Sebaliknya menggunakan “bahasa rakyat” dalam menyampaiakan pesan yang rumit dan ilmiah akan kehilangan maknanya dan kemungkinan besar akan diremehkan oleh penerima pesan yang berpendidikan tinggi.demikian seterusnya.
Yang dimaksud dengan penerima adalah orang atau pihak kepada siapa pesan ditujukan.yang sangat penting mendapat perhatian dalam hubungan ini ialah bahwa sebelum pesan yang hendak disampaikan diterima oleh penerima. “kode” dan simbol – simbol yang digunakan perlu diterjemahkan terlebih dahulu kedalam sesuatu bentuk yang dipahami oleh penerima. Inilah yang dimaksud dengan kegiatan “dekodenisasi”. Cara dekodenisasi yang dipergunakan oleh penerima perlu dipahami oleh sumber pesan dan apabila perlu membantunya sehingga tidak terjadi distorsi. Baik karena diwarnai oleh persepsi penerima yang kurang tepat tentang pesan yang diterimanya maupun karena tidak tepatnya kegiatan dekodenisasi ynag dilaksanakan. Dalam memilih cara dekodenisasi ynag paling tepat, baik penerima pesan maupun sumber pesan, perlu sama – sama menyadari bahwa dalam memilih cara dekodenisasi terdapat pembatasan – pembatasan tertentu yang bersumber dari :
a. Keterbatasan pengetahuan,
b. Keterbatasan keterampilan,
c. Norma – norma sosial yang berlaku.
a. Keterbatasan pengetahuan penerima adalah akibat tingkat pendidikan yang pernah ditempuhnya. Semakin rendah tingkat pendidikanya. Semakin rendah pula tingkat kognitifnya yang cenderung mengakibatkanya melihat sesuatu secara simplistik. Karena itu simbol –simbol penerjemahan yang digunakanya pun biasanya akan bersifat sederhana pula.
b. Keterbatasan keterampilan merupakan akibat dari gabungan antara pendidikan yang rendah dan pengalaman yang terbatas. Kedua faktor tersebut tidak memungkinkanya menyerap sesuatu dengan cepat, apalagi kalau sesuatu pesan disampaiakan semata –mata dengan tulisan. Yang lebih bermamfaat baginya adalah simbol –simbol yang dengan masih mudah dapat divisualisasikannya, apa lagi visualisasi itu dibuat dalam bentuk –bentuk yang tidak asing baginya.
c. Norma – norma sosial yang dianut oleh penerima yang memberikan petunjuk baginya tentang yang “benar” dan “salah” yang “baik” dan “buruk” turut pula berperan sebagai pembatasan terhadap apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kepekaan komunikator terhadap pengaruh norma- norma sosial tersebut akan mendukung keinginanya untuk menyampaiakan pesan dengan baik.
Mata rantai terakhir dalam proses komunikasi ialah adanya sistem umpn balik yang andal. Melalui umpan baliklah sumber pesan akan mengetahui apakah pesan yang disampaiakanya diterima secara utuh atau tidak. Disamping itu, sistem umpan balik diperlukan pula oleh sumber pesan dalam usahanya meningkatkan kemampuanya berkomunikasi secara efektif di masa – masa yang akan datang, yang berarti peningkatan kemampuanya sebagi seorang pemimpin.
1.2.4 PEMIMPIN SEBAGAI MEDIATOR
Dalam kehidupan organisasional, selalu saja ada situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubugan keluar maupun dalam hubungan ke dalam organisasi. Pembahasan tentang fungsi pimpinan sebagai mediator difokuskan pada penyelesaian situasi konflik yang mungkin timbul dalam satu organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik yang mungkin timbul dalam hubungan keluar dihadapi dan diatasi.
Dalam satu organisasi dapat timbul situasi konflik dan faktor-faktor penyebabnya pun dapat beraneka ragam. Situasi konflik biasanya timbul karena tiga faktor utama, yaitu :
1. Persepsi subjektif tentang kemungkinan timbulnya tantangan dari pihak lain dalam organisasi,
2. Kelangkaan sumber daya dan dana,
3. Adanya asumsi bahwa dalam organisasi terdapat berbagai kepentingan yang diperkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Mengenai persepsi subjektif sebagai salah satu sumber situasi konflik dapat dikatakan bahwa para anggota organisasi yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan tertentu akan cenderung memeliki persepsi bahwa kegiatan organisasional yang menjadi tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan meruapakan kegiatan terpenting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi sebagai keseluruhan. Apapun faktor –faktor penyebabnya, prsepsi yang tidak tepat tentang peranan seseorang atau suatu kelompok tertentu dalam suatu oraganisasi akan melahirkan tantangan dan bahkan penolakan oleh orang atau kelompok – kelompok kerja lain dalam organisasi.
Tantangan dan penolakan demikian lebih mudah timbul apabila organisasi menghadapi situasi kelangkaan sumber dana dan daya yang serius dan akut. Bahkan situasi konflik biasanya timbul bukan hanya karena keterbatasan dana dan daya itu, akan tetapi juga karena terbatasnya jumlah jabatan pimpinan, perbedaan prestise ynag melekat pada sesuatu jabatan tertentu, pemeberian wewenang yang tidak didasarkan pada pola yang konsisten, dan hal-hal lain yang sejenis dapat pula menimbulkan situasi konflik dalam satu organisasi. Untuk mengatasinya secara rasional, objektif, efektif, dan tuntas, dituntut kemamapuanya berperan seabagai seorang mediator yang andal. Atas dasar itulah dikatakan mediasi merupakan salah satu fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki.
Kemampuan menjalankan pernan selaku mediator yang andal terlihat pula dalam hal terdapat padangan dalam diri orang – orang dalam organisasi bahwa berbagai kepentingan dalam organisasi sukar atau tidak mungkin dipertemukan. Pandangan demikian sungguh tidak dapat dibenarkan dan harus segera diatasi. Jika terdapat pandangan demikian, berarti bahwa:
1. Paradigma yang holistik tidak terdapat dalam organisasi,
2. Tidak terdapat keyakinan dalam diri para anggota organisasi bahwa tujuan p-tujuan mereka pribadi telah tercakup dalam tujuan – tujuan organisasional,
3. Cara kerja dan cara berpikir yang dominan masih dilandasi oleh sikap dan perilaku yang “ self-cencentered”,
4. Pengkotak –kotakan dipandang sebagai hal yang normal dan oleh karenanya dapat dibenarkan,
5. Teradapat ketidakjelasan pola pengambilan keputusan, pola pendelegasian wewenang, mekanisme kerja dan pembagian tugas.
Kiranya sangat mudah membayangkan bahwa tidak akan ada seorang pimpinan yang akan membiarkan situasi demikian berlangsung dalam organisasi yang dipimpinya dan akan segera berusaha keras untuk menanggulanginya. Sikap demikian pasti diambilnya sebab apabila tidak, citranya sebagai seorang pempinan akan rusak, kepercayaan terhadap kepemimpinanya akan merosot dan bahkan mungkin hilang dan organisasi yang dipimpinya pun tidak akan mencapai tujuannya.
Secara ilmiah terdapat tiga pandangan tentang konflik yaitu :
1. Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa semua bentuk konflik tidak baik,
2. Pandangan keperilakuan yang mengatakan bahwa adanya konflik merupakan hal yang almiah dan normal,
3. Pandangan interaksionis yang mengatakan bahwa timbulnya konflik merupakan hal yang baik.
Mengenai pandangan pertama, pandangan ini dikenal dengan istilah pandangan tradisional karena ia merupakan pandangan paling lama mendominasi pemikiran tentang konflik dalam kehidupan organisasional. Inti pandangan ini terlihat pada pendapat yang mengatakan bahwa semua bentuk konflik dalam interaksi antara seorang dengan orang lain dan antara satu kelompok dengan kelompok lain merupakan hal yang tidak baik. Menurut pandangan ini, konflik bersifat disfungsional yang apabila dibiarkan berlangsung terus – menerus dapat merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan.
Sering dikatakan bahwa ada emapat faktor penyebab timbulnya situasi konflik dalam organisasi, yaitu :
a. Karena komunikasi yang berlangsung dalam organisasi bukanlah komunikasi yang efektif,
b. Ketidakterbukaan terhadap satu sama lain,
c. Ketidaksalingpercayaan antara satu orang dengan orang lain dalam organisasi,
d. Karena kelompok pimpinan tidak responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi para bawahanya.
Pandangan kedua tentang konflik ialah yang didasarkan keprilakuan. Dalam teori administrasi dan manajemen, pandangan ini berkembang antara dekade empatpuluhan hingga dekade tujuhpuluhan. Pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan bahwa adanya konflik dalam kehidupan organisasisosial meruapakan hal yang almiah dan normal. Artinya konflik selalu timbul dalam interaksi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Karena timbulnya konflik merupakan hal yang tidak mungkin dicegah, sikap terbaik terhadapnya ialah menerimanya sebagai suatu kenyataan. Harus dicari dan ditemukan cara –cara untuk mengatasinya dan apabila mungkin menghapuskannya. Paling tidak diusahakan agar dampaknya jangan terlalu negatif bagi organisasi yang bersangkutan. Akan tetapi, demikian pandangan ini selanjutnya mengatakan, apabila konflik dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, penyelesaian itu dapat berakibat pada meningkatnya dinamika individu dan dinamika kelompok dalam organisasi tersebut.
Pandangan yang dominan mengenai konflik adalah pandangan ketiga yang dikenal dengan istilah “pandangan interaksionis”pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan bahwa adanya konflik dalam kehidupan organisasional merupakan hal baik. Karena baik, timbulnya konflik justru perlu didorong karena tanpa adanya konflik kehidupan organisasi akan diwarnai oleh berbagai sikap seperti :
a. Apatetik,
b. Tidak responsif terhadap kebutuhan dan tuntutan perubahan,
c. Tidak berkembangnya daya pikir yang inovatif dan kreatif,
d. Timbulnya rasa aman yang berlebihan,
e. Terdapatnya rasa kepuasan yang terlalu besar,
f. Cara bertindak yang terlalu kompromistik,
g. Gaya hidup organisasional yang memberikan nilai tinggi bagi konformitas.
Terlepas dari adanya tiga pandangan tersebut seperti yang telah dibahas di muka, sesungguhnya permasalahan tentang konflik tidak dapat dilihat secara simplistik, apalagi dengan pandangan dikotomikal yang mengatakan bahwa semua konflik baik itu secara konflik tidak baik. Nampaknya dapat ditarik, kesimpulanya bahwa semua jenis konflik yang timbul, baik yang tergolong fungsional dan konstruktif maupun yang tergolong disfungsional dan destruktif, harus diatasi dan disinilah peranan pemimpin selaku mediator menjadi sangat penting. Teori yang telah dikembangkan memberikan petunjuk tentang adanya lima teknik atau cara yang dapat digunakan oleh seorang pimpinan selaku mediator dalam usahanya menangani konflik yang timbul, baik antara individu yang tergabung dalam satu kelompok kerja maupun antara berbagai kelompok yang terdapat dalam organisasi. Teknik atau cara tersebut ialah :
a. Kompetisi,
b. Kalaborasi,
c. Kompromi,
d. Pengelakan,
e. Akomodasi,
A. Kompetisi, persaingan sehat antar individu dalam satu kelompok kerja dan antarkelompok dapat meruapakan daya dorong yang kuat untuk meningkatkan prestasi kerja produktivitas dan inovasi. Teknik ini adalah salah satu cara untuk mengatasi konflik apabila situasi yang dihadapi menunjukan tiga sifat yaitu :
a. Organisasi menghadapi keadaan darurat dan oleh karenanya diperlukan tindakan cepat, misalnya adanya keputusan segera,
b. Terdapat hal – hal penting dalam menuntut diambilnya tindakan yang tidak populer, misalnya, pengurangan dana, penegakan disiplin secara ketat dan tindakan sejenis lainya,
c. Timbul masalah yang menyangkut kelangsungan hidup organisasi sebagai keseluruhan.
B. Kolaborasi, peranan seorang pemimpin selaku mediator dalam mengatasi konflik dengan mendorong kolaborasi antara individu dan atau antara kelompok dalam organisasi ternyata bermamfaat dan efektif jika situasi yang dihadapi mempunyai ciri-ciri :
a. Situasi yang diahadapi memerlukan ditemukanya jalan keluar yang integratif dalam hal terdapatnya dua kepentingan yang terlalu penting untuk dikompromikan;
b. Apabila sasaran yang ingin dicapai adalah menumbuhkan keinginan belajar dikalangan pihak – pihak yang terlibat;
c. Apabila konflik yang dihadapi menuntut penggabungan dari berbagai pandangan yang bertolak dari perspektif yang berbeda;
d. Situasi menurut adanya komitmen berbagai pihak dengan menginkorporasikan berbagai kepentingan menjadi kebersamaan;
e. Apabila hubungan kerja terganggu karena adanya persepsi yang berbeda-beda.
C. Pengelakan, biasa digunakan oleh seorang pimpinan dalam menangani konflik yang timbul dalam organisasi yang dipimpimnya ialah teknik pengelakan. Teknik ini efektif apabila situasi konflik yang dihadapi mempunyai tujuh sifat sebagai berikut :
a. Apabila diketahui bahwa permasalahan yang menimbulkan situasi konflik sesungguhnya tidak penting atau kalau dipandang ada permasalahan lainn yang dianggap lebih penting dan memerlukan penanganan segera;
b. Apabila pimpinan merasa bahwa pihak – pihak yang terlihat berpendapat bahwa kecil kemungkinan terjaminnya kepentingan mereka;
c. Apabila disrupsi yang mungkin timbul lebih besar bobotnya dibandingkan dengan keuntungan yang mungkin diperoleh apabila konflik tidak diatasi;
d. Apabila pihak –pihak yang terlibat memerlukan waktu untuk menenangkan diri dan perlu kesempatan berfikir dengan tenang guna memperoleh prospektif yang tepat;
e. Apabila kebutuhan akan informasi tambahan lebih penting dari adanya tindakan segera;
f.Apabila ada orang lain yang dapat menyelesaiakan konflik itu dengan cara yang lebih efektif di luar pihak –pihak yang sekarang terlibat;
g. Apabila sautu konflik nampaknya hanya bersifat simptomatik dan konflik yang sesungguhnya belum menampakan diri secara jelas.
D. Akomodasi, teknik ini mendorong timbulnya sikap yang akomodatif di antara pihak –pihak yang terlibat dalam situasi konflik tertentu dan dipandang tepat digunakan apabila:
a. Pimpinan selaku mediator melihat bahwa salah satu pihak merasa bahwa pihaknya memang salah dan oleh karenanya perlu diberikan kesempatan untuk mendengar dan belajar dari orang atau pihak lain;
b. Terdapat perasaan di kalangan pihak –pihak yang terlibat bahwa ada hal –hal tertentu yang dipandang lebih penting bagi pihak lain ketimbang pihak sendiri yang berarti bahwa mendahulukan kepuasan pihak lain itu harus menjadi pertimbangan utama;
c. Memebina iklim yang memungkinkan pihak lain menerima pandnagan pihak sendiri jauh lebih penting dari tindakan segera;
d. Terdapat perasaan bahwa sangat penting memperkecil kerugian bagi diri sendiri karena ternyata pihak lain lebih kuat;
e. Keserasian dan stabilitas dipandang sangat penting bagi kehidupan organisasional;
f. Pimpinan merasa perlu memberikan kesempatan kepada para bawahan untuk belajar dari pengalaman dan kesalahan yang diperbuatnya yang enimbulkan situasi konflik tersebut;
E. Kompromi, seseorang pimpinan, dalam usahanya mengatasi situasi konflik yang timbul di antara para anggotanya, dapat menggunakan teknik yang mendorong sikap yang kompromistik. Ketepatan teknik ini pun sangat tergantung pada sifat situasi konflik yang dihadapi. Menurut teori, teknik ini tepat digunakan apabila situasi konflik yang hendak diatasi mempunyai lima sifat, yaitu:
a. Pencapaian sasaran tertentu memang penting akan tetapi tidak sedemikian pentingnya sehingga sikap yang tegas dan keras diperlukan;
b. Apabila pihak “lawan”dengan kekuatan yang sama dengan kekuatan yang dimiliki oleh pihak sendiri sudah terikat pada tujuan tertentu yang sifatnya “mutually exclisive” dengan tujuan –tujuan lainya;
c. Apabila pemecahan yang ingin dicapai bersifat smentara terhadap permasalahan yang sesungguhnya kompleks karena pemecahan tuntas terhadap permasalahan yang kompleks itu diperhitungkan justru akan mempertajam konflik yang telah ada;
d. Apabila pemecahan harus ditemukan dengan segera sehingga asal saja pemecahan itu memadai, pihak –pihak yang berkepentingan dapat menerimanya;
e. Apabila yang diperlukan adalah tindakan pengamanan mungkin bersifat sementara karena cara lain sperti kolaborasi atau kompetisi tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.
Dari pembahasan singkat di muka terlihat bahwa teknik kompromi hanya tepat untuk usaha mengatasi situasi konflik apabila hasilnya dipandang memadai apabila status quo dapat dipertahankan sambil melakukan upaya yang diharapkan mendatangkan hasil yang relatif permanen.
Sudah barang tentu setiap pimpinan ingin mengetahui sampai sejauh mana ia berhasil atau tidak berhasil dalam menyelenggarakan fungsinya selaku mediator, khususnya dalam mengatsi situasi konflik. Ukuran satu-satunya ialah hasil yang dicapai. Seorang pimpinan dapat dikatakan berhasil mengatasi konflik apabila terwujud:
1. Stimulasi bagi para bawahan untuk semakin kreatif dan inovatif,
2. Timbulnya dorongan perhatian dan rasa ingin tahu di kalangan para bawahanya,
3. Peningkatan kemampuan para bawahan mengemukakan dan merumuskan suatu permasalahan scara baik,
4. Penyaluran ketegangan secara baik,
5. Menumbuhkan situasi yang mendorong iklim dalam mana para bawahan mmapu melakukan penilaian atas diri sendiri yang pada giliranya mempermudah terjadinya perubahan dimasa yang akan datang, baik yang menyangkut persepsi, kemampuan kognitif maupun sikap dan prilaku dimasa yang akan datang.
Sebaliknya, seorang pimpinan dapat dikatakan kurang berhasil dalam memainkan peranannya selaku mediator apabila dalam menangani situasi konflik yang terjadi ialah:
1. Tidak terdorong timbul dan berkembangnya iklim dimana komunikasi ke semua jurusan yaitu vertikal ke bawah, vertikal ke atas, secara horizontal dan diagonal melalui mana berbagai hal yang dapat menimbulkan situasi konflik dapat dihindarkan,
2. Tidak meningkatkan kekompakan d i antara para bawahanya
3. Tetap menonjolkan kepentingan pribadi diatas kepentingan organisasi.
Jelaslah bahwa kemampuan menjalankan fungsi kepemimpinan selaku mediator yang rasional, objektif dan netral merupakan salah satu indikator efektivitas kepemimpinan seseorang.
1.2.5 PERANAN SELAKU INTEGRATOR
Merupakan kenyataan dalam kehidupan organisasional bahwa timbulnya kecenderungan berpikir dan bertindak berkotak –kotak dikalangan para anggota organisasi dapat diakibatkan oleh sikap yang positif, tetapi mungkin pula karena sikap yang negatif. Dikatakan dapat bersifat positif karena adanya tekad dan kemauan keras dikalangan para anggota organisasi yang terhubung dalam satu kelompok tertentu untuk berbuat seoptimal mungkin bagi organisasi. Akan tetapi sikap demikian dapat mempunyai dampak negatif bagi kehidupan organisasional apabila dalam usaha berbuat sebaik mungkin bagi organisasi, para anggota organisasi yang bersangkutan lupa bahwa keberhasilan satu kelompok yang bekerja sendirian belum menjamin keberhasilan organisasi sebagai keseluruhan.
Sikap mementingkan kelompok dan satuan kerja sendiri mudah timbul apalagi kalau dalam organisasi pembagian tugas menuntut spesialisasi yang berlebihan, sistem alokasi dana dan daya yang tidak atau kurang rasional, dan kurangnya penekanan pada pendekatan kesisteman.
Hal –hal demikian biasanya berkaitan pada suasana persaingan di kalangan berbagai kelompok kerja yang ada yang diupayakan agar satuan kerja sendiri diperlakukan sebagai “satuan kerja strategik”. Jika pimpinan organisasi membiarkan persepsi demikian berkembang, tidak mustahil bahwa para anggota satuan kerja sendiri memperoleh alokasi dana, sarana, prasarana dan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan satuan – satuan kerja yang lain.
Seorang pimpinan yang efektif dalam menjalankan fungsi – fungsi kepemimpinannya sudah barang tentu tidak akan membiarkan cara berpikir dan bertindak demikian karena organisasi yang diharapkan mampu mencapai tujuan dengan tingkat efesiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi hanyalah organisasi yang bergerak sebagai satu totalitas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa organisasi modren akan disusun dalam suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas dan kegiatan yang beraneka ragam, keanekaragam itu tidak menghilangkan perlunya interaksi, interrelasi dan interdependensi yang didasarkan pada prinsip syimbiosis mutualis. Artinya dalam satu organisasi tidak ada tujuan atau sasaran kelompok yang bersifat mutually exclusiveI. Memang merupakan kenyataan pula bahwa tergantung pada berbagai desakan tertentu, seperti desakan waktu, desekan skala prioritas, desakan kebijaksanaan baru, desakan perkembangan dan pemamfaatan teknologi dan lain sebagainya, mungkin saja timbul keharusan menunujuk dan memperlakukan satuan kerja tertentu sebagai “satuan kerja strategik” situasi keharusan demikian seiring dihadapi oleh semua jenis organisasi, di dalam dan di luar lingkungan pemerintahan.
Misalnya dilingkungan pemerintahan. Jika pada susatu ketika tertentu terdapat persepsi bahwa keselamatan negara terancam dengan kemungkinan serangan dari pihak asing, angkatan bersenjata negara yang bersangkutan akan diperlakuakn sebagai satuan kerja yang paling strategik. Atau, jika ketertiban masyarakat sangat terganggu oleh ansir –anasir yang tidak bertanggung jawab seperti perampokan, pencurian, perkosaan, pembunuhan dan sejenisnya, kepolisian negara tersebut akan diperlakukan sebagai satuan kerja strategik. Hanya saja tetap perlu ditekankan bahwa memperlakukan satuan kerja tertentu sebagai satuan kerja strategik tidak menghilangkan kebutuhan dukungan oleh satuan –satuan kerja lain. Dukungan tersebut dapat berupa langsung, tetapi dapat pula bersifat tidak langsung. Dengan satuan kerja lain yang dukunganya bersifat langsung, interaksi yng timbul akan intensif sedangkan dengan satuan kerja yang dukungannya bersifat tidk lngsung bentuk dan jenis interaksi yng timbulpun akan berlainan.
Hal senada dapat dikatakan mengenai organisasi niaga. Tidak mustahil bahwa karena situasi yng dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan, misalnya meningkatnya permintaan atas produk yang dihasilkanya sebagai satuan kerja strategik. Akan tetapi jika merebut pasar yang lebih luas yng menjadi sasaran, bagian pemasaranlah yang diperlukan sebagai satuan kerja strategik. Dalam hal produktivitas rendah, disiplin mengendor, tingkat kemangkiran tinggi atau banyak pegawai yang berhenti karena pindah ke organisasi lain, bisa saja satuan kerja yang menangani bidang kepegawaian menjadi satuan kerja strategik.
Prinsip yang sama berlaku pula bagi organisasi politik. Jika pada suatu ketika sasaran yang ingin dicapai adalah memperbanyak jumlah anggota organisasi politik yang bersangkutan, dana, daya, waktu dan upaya akan dikerahkan untuk mencapai sasaran tersebut dengan menjadikan bagian yang palinng bertanggung jawab mengenai keanggotaan sebagai satuan kerja strategik. Dalam menghadapi pemilihan umum, satuan kerja lain lagi yang menjadi satuan kerja strategik. Demikian seterusnya.
Dengan perkataan lain diperlukan integrator terutama pada hirarki puncak oirganisasi. Integrator itu adalah pimpinan. Setiap pejabat pimpinan,terlepas dari hirarki jabatanya dalam organisasi,sesungguhnya adalah integrator. Hanya saja cakupan dan intensitasnya berbeda- beda. Artinya semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan dalam organisasi, semakin penting pula makna peranan tersebut. Hanya pimpinanlah yang berada “di atas semua orang dan semua intansi satuan kerja” yang memungkinkannya menjalankan peranan integratif yang didasarkan pada pendekatan yang holistik.
Pemahaman tentang faktor –faktor yang menimbulkan efektivitas kepemimpinan seseorang dapat pula dilakukan dengan memahami teori kepemimpinan berdasarkan ciri-ciri, hal yang akan dibahas dalam bab berikutnya.
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan dan Saran
1.3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di muka terlihat bahwa efektivitas kepemimpinan dapat disoroti dari segi penyelenggaraan fungsi –fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki, yatu fungsi – fungsi sebagai penentu arah yang hendak ditempuh melalui proses pengambilan keputusan, sebagai wakil dan juru bicaraorganisasi dalam usaha pemeliharaan hubungan dengan pihak –pihak yang berkepentingan di luar organisasi, sebagai komunikator yang efektif, sebagai mediator yang rasional, objektif dan netraldan sebagai integrator.
1.3.2 Saran
Saran yang dapat kami berikan pada makalah yang kami kerjakan yaitu semoga dapat bermamfaat bagi kita semua dan dapat di kembangkan lagi kedepannya amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar